Jakarta – PP KAMMI menggelar diskusi publik, dengan tema “Kado Pahit Awal Tahun 2025: Kenaikan PPN 12% & Dampaknya Terhadap Perekonomian Masyarakat”, pada Senin (30/12/2024). Dalam diskusi online tersebut, menghadirkan narasumber Mohammad Faisal sebagai Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Bakhrul Fikri sebagai Peneliti Center of Economic and Law Studies (CELIOS), dan Arsandi sebagai Ketua Bidang Kebijakan Publik PP KAMMI.
Mohammad Faisal, Direktur Eksekutif CORE Indonesia mengungkapkan terjadi perlambatan pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang terus belanjut, khususnya pada masyarakat kelas menengah. Hal ini disebabkan beberapa faktor, di antaranya scarring effect pandemi yang masih dirasakan, pasar tenaga kerja yang didominasi sektor informal dan pertumbuhan pendapatan yang lambat, serta berbagai kebijakan ekonomi yang seringkali menekan kelas menengah.
Ia juga mengungkapkan fenomena masyarakat makan tabungan. Berdasarkan data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), jumlah rekening dengan saldo di bawah 100 juta menampati porsi 99% dari total masyarakat Indonesia. Dan terjadi penurunan rata-rata saldo, di mana pada tahun 2019 sebesar 3 juta turun pada tahun 2024 hanya 1,8 juta. Kondisi inilah yang dinamakan dengan makan Tabungan. Upah yang tak seberapa tak mampu membiaya keseluruan kebutuhan sehingga harus mengambil dari tabungan.
Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Mohammad Faisal, memprediksi dampak dari kebijakan kenaikan PPN 12% akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Ia juga menilai PPN di Indonesia yang mengenakan skema single-tarif PPN dianggap tidak adil karena tidak mempertimbangkan perbedaan daya beli dan kebutuhan antara kelompok barang dan jasa yang berbeda.
“Dari kondisi sakit ini, semestinya disembuhkan tapi arah kebijakan lebih memberatkan. Selain PPN 12% juga ada masalah BBM subsidi semakin dibatasi, kenaikan tarif premi BPJS, pengenaan cukai baru, hingga rencana asuransi wajib kendaraan bermotor dan ini mengena terutama pada kelas menengah. Sehingga diprediksi pada tahun 2025 pertumbuhan ekonomi kita hanya kisaran 4,8 – 5%. Artinya bertolak belakang dengan target pemerintah sampai 8%,” jelasnya.
Mohammad Faisal, juga menyoroti arah kebijakan fiskal di tahun 2025 yang justru menahan peningkatan daya beli dan belanja masyarakat. Terdapat belanja subsidi dan modal, dua kategori ini penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan menjaga daya beli masyarakat terutama kelas bawah. Namun sayangnya, belanja alokasi subsidi untuk kelas bawah di tahun 2025 justru -1,5% atau terjadi penurunan dari tahun sebelumnya. Ketika kondisi daya beli justru kebijakan fiskalnya tidak mencoba mengangkat daya beli. Begitu pun dengan belanja modal, di mana kaitanya mendorong pertumbuhan ekonomi. Justru di tahun 2025 diproyeksikan -44%.
Bakhrul Fikri, Peneliti Center of Economic and Law Studies (CELIOS), mengungkapkan berbagai alasan pemerintah tetap melanjutkan kenaikan PPN12%. Sebab PPN merupakan jalur tercepat untuk menambah penerimaan kas negara. Pemerintah membutuhkan uang untuk membayar utang dan proyek ambisius lainnya.
“Pemerintah sedang butuh uang untuk membayar utang di tahun 2025 sebesar Rp800 T dan bunga utang sebesar Rp500 T. Dan beban utang sebesar Rp800T harus ditanggung pemerintah hingga 2027 atau selama 3 tahun ke depan,” ungkapnya.
Perhitungan dari CELIOS, perkembangan inflasi umum tahunan 2025 diprediski 4,11% jika kenaikan PPN 12% tetap akan diberlakukan. Bahkan tekanan pada inflasi ini terjadi sebelum kenaikan diberlakukan. Hal ini disebabkan fenomena pre-emptives inflation atau inflasi yang mendahului tarif pajak baru. Sebab pengusaha akan lebih cepat menjawab kebijakan apa yang akan diterapkan pemerintah karena mereka takut keuntungan mereka berkurang di tahun depan. Maka mereka kan menyesuaikan terlebih dahulu kenaikan harga.
CELIOS telah membuat simulasi kenaikan tarif PPN 12%, di mana hasil perhitungan analisisnya jika dinaikkan 12% maka konsumsi rumah tangga akan tergerus. Hal ini disebabkan dampak dari disposable income yang semakin turun.
“Akibatnya daya beli masyarakat akan menurun. Hal ini akan berdampak pada transaksi volume barang dan jasa. Jika surplus dunia usaha juga terjadi penurunan, seringkali akan berdampak pada efisiensi SDM, artinya PHK dan pengangguran akan semakin banyak,” terangnya.
Selanjutnya, Arsandi sebagai ketua bidang kebijakan publik PP KAMMI, mengungkapkan penerimaan kas negara didominasi berasal dari iuran pajak, yaitu PPH serta PPN. Namun sayangnya, besaran pajak tersebut tak sebanding dengan manfaat yang dirasakan secara langsung oleh masyarakat. Belum sepenuhnya merasakan pemerataan pembangunan, akses pendidikan dan kesehatan, hingga lapangan pekerjaan sulit didapatkan.
Pemerintah menyatakan kenaikan PPN 12% hanya untuk kaategori barang mewah. Namun Arsandi menilai, jika kenaikan PPN 12% untuk kategori barang mewah. Seharusnya pemerintah dapat fokus memperluas cakupan PPnBM (Pajak Penualan Atas Barang Mewah).
“Jika objeknya adalah barang mewah, harusnya maksimalkan PPnBM. Jelas barang mewah dan lebih spesifik lagi tarif pajaknya menyesuaikan jenis barang sesuai kategori. Bagi mereka yang punya duit besaran pajak tentu bukan menjadi masalah, sebab mereka beli untuk kebutuhan tersier menunjukkan status sosialnya,” jelasnya.
Arsandi menilai kenaikan PPN 12% tidak adil bagi masyarakat kelas bawah. Sebab di waktu bersamaan, saat pemerintah kejar target pemasukan kas Negara dari PPN. Justru target penerimaan pajak lewat PPnBM diturunkan, di mana pada tahun 2024 sebesar 27,26 triliun kemudian pada tahun 2025 turun menjadi 16,61 triliun.
Ia juga meyoroti RUU Tax Amnesty yang masuk prolegnas (program legislasi nasional) prioritas 2025. Menurutnya, RUU Tax Amnesty tak adil, sebab pengampunan pajak yang ditawarkan pemerintah diberikan kepada mereka yang selama ini tidak taat pajak dan cenderung menghindar kewjiban pajak. Sedangkan rakyat miskin ikut terbebani dengan kenaikan pajak PPN 12%.