Kebijakan Baru Larang Warung Jual LPG 3 Kg: Apakah Subsidi Bisa Tepat Sasaran?

Jakarta – Pemerintah berencana untuk melarang pengecer atau warung menjual LPG 3 kg untuk memastikan distribusi subsidi gas lebih tepat sasaran dan menghindari kenaikan harga yang tidak sesuai dengan yang telah ditetapkan. Wakil Menteri ESDM, Yuliot Tanjung, mengungkapkan bahwa mulai kedepan, pengecer gas bersubsidi ini tidak lagi dapat menjual langsung ke konsumen. Sebagai gantinya, mereka akan diubah menjadi pangkalan yang mengakses stok gas langsung dari Pertamina. Pemerintah memberikan waktu satu bulan bagi pengecer untuk mendaftarkan diri menjadi pangkalan resmi penjual LPG 3 kg agar sesuai dengan regulasi yang baru.

Pemerintah menyatakan bahwa larangan ini diterapkan untuk memutus mata rantai yang menyebabkan harga gas melon menjadi lebih tinggi dari harga yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Salah satu dampak kebijakan ini adalah antrean panjang yang terjadi di beberapa agen resmi LPG 3 kg, seperti yang terlihat di PT Internusa Jaya Sinergi Global yang terletak di Sawangan, Depok, Jawa Barat. Salah seorang warga, Saleh, yang datang dari Cinangka, Sawangan, mengungkapkan bahwa ia terpaksa antre untuk membeli LPG 3 kg setelah gas bersubsidi yang biasa ia beli di warung sembako langganannya habis. Pemilik warung tersebut mengarahkannya untuk membeli gas melon di agen resmi.

Saleh menjelaskan bahwa antrean panjang tersebut terjadi karena banyak warga yang belum terdaftar sebagai penerima subsidi LPG 3 kg. Sementara itu, di agen dan pangkalan, pembelian LPG bersubsidi diwajibkan untuk menunjukkan KTP sebagai syarat verifikasi. Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, menilai kebijakan ini adalah langkah yang salah karena akan menyulitkan masyarakat miskin yang selama ini terbiasa membeli gas dari warung kecil. Ia berpendapat bahwa kebijakan ini akan menyebabkan antrean panjang yang akan mengganggu kegiatan masyarakat, khususnya para pedagang yang bergantung pada LPG bersubsidi untuk menjalankan usaha mereka.

Bhima menilai bahwa kebijakan ini justru akan menambah kerumitan bagi masyarakat yang seharusnya mudah mengakses LPG 3 kg. Antrean yang terjadi akan mengganggu pedagang kecil, seperti pedagang kaki lima, yang berhak memperoleh gas bersubsidi tersebut. Menurut Bhima, kebijakan ini memiliki dampak yang sangat besar bagi ekonomi masyarakat, terutama pelaku UMKM yang terpaksa berhenti berjualan hanya karena kesulitan memperoleh LPG 3 kg. Ia menyebut kebijakan ini sebagai sebuah sistem subsidi yang tidak jelas dalam sosialisasinya dan berbahaya bagi perekonomian.

Bhima juga menilai alasan pemerintah untuk melarang warung menjual LPG 3 kg dengan alasan untuk menjaga harga agar sesuai dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) tidak cukup masuk akal. Ia menilai bahwa jika warung hanya mengambil keuntungan sekitar Rp2.000 per tabung, maka tidak ada alasan untuk melarang mereka menjual gas tersebut. Menurutnya, kebijakan ini lebih terkait dengan upaya pemerintah untuk menghemat anggaran subsidi LPG 3 kg, dengan menciptakan kesulitan bagi masyarakat dalam mengakses subsidi tersebut. Ia menganggap bahwa perbedaan harga yang muncul hanya menjadi alasan semata.

Selain itu, Bhima juga mengkritik persyaratan yang ditetapkan Pertamina untuk pengecer yang ingin menjadi agen LPG 3 kg, yang dinilai terlalu berat. Sebagian besar pengecer, terutama warung kecil dengan modal usaha di bawah Rp20 juta, sulit memenuhi syarat-syarat tersebut. Bhima berpendapat bahwa syarat tersebut sama saja dengan menghambat usaha warung kecil untuk menjadi agen LPG 3 kg. Padahal selama ini, warung-warung tersebut telah membantu dalam distribusi LPG 3 kg ke daerah-daerah terpencil yang sulit dijangkau oleh agen resmi.

Ia mengusulkan agar pemerintah tidak melarang pengecer kecil untuk menjual LPG 3 kg, tetapi melakukan pendataan secara lebih akurat untuk memastikan distribusi gas tersebut tepat sasaran. Warung tetap dapat menjual LPG 3 kg jika menggunakan skema aplikasi subsidi yang lebih terarah. Dengan cara ini, warung tetap bisa berperan dalam mendistribusikan LPG ke masyarakat tanpa harus mengorbankan kemudahan akses bagi konsumen yang berhak.

Tinggalkan Balasan