Ekonom KAMMI: Nikel Indonesia Belum Mampu Menghadapi Baterai Besi dari China

Jakarta, Rabu (24/01/24) Pada debat Cawapres keempat beberapa hari yang lalu, mencuat isu terkait pemanfaatan teknologi ramah lingkungan. Dimana kondisi dan situasi saat ini dunia sedang mengalami krisis iklim (climate crisis). Sehingga membutuhkan teknologi yang dapat mengurangi dampak energi fosil.

Dan seiring dengan meningkatnya tren kendaraan listrik di dunia, dibutuhkan substitusi juga peralihan dari bahan bakar fosil ke baterai listrik.

Menanggapi itu, Ekonom KAMMI Muhammad Ridwan Uda menyampaikan, isu kendaraan listrik pertama kali sudah mengemuka di era Nikola Tesla di Amerika. Dan semakin disempurnakan dimasa Elon Musk dengan Space X nya.

Hingga pada akhirnya, Elon Musk datang ke Indonesia, untuk melihat gambaran dan kemungkinan pembuatan pabrik baterai berbasis Nickel Manganese Cobalt (NMC) di Indonesia.

Dimana Indonesia diperkirakan memiliki cadangan mineral Nikel dan Cobalt tersebut sebesar 21 Juta ton, ini merupakan yang terbesar di dunia, bersama dengan Australia yang juga memiliki cadangan nikel kurang lebih 20 juta ton.

Namun pada akhirnya Elon Musk memutuskan bahwa semua mobil tesla menggunakan baterai berbasis Lithiun Ferro Prosphate (LFP).

Kenapa Elon Musk lebih memilih LFP di China dibanding NMC di Indonesia? Padahal jika Tesla jadi membangun pabrik baterai Nikel di Indonesia, ada berapa tenaga kerja indonesia yang bisa terserap dan akan banyak terjadi transfer teknologi ke Indonesia.

Pertama, dikarenakan baterai berbasis LFP lebih murah, lebih efisien dan lebih kuat.

LFP diperkirakan dapat diisi ulang sebanyak 3.000 kali, sedangkan baterai berbasis Nikel hanya bisa diisi ulang sebanyak 800kali. Juga LFP disebut tidak mudah terbakar dan tahan terhadap tekanan.

Berbeda dengan Baterai Nikel, yang masih memiliki banyak kekurangan dan kelemahan dibanding LFP. Inilah yang membuat baterai nikel belum mampu bersaing menghadapi baterai besi dari China.

Hal ini juga menjelaskan bahwa baterai besi dari china sudah melewati banyak riset dan pengembangan, sehingga dapat memiliki berbagai keunggulan. Sedangkan kita masih belum melihat R&D sebagai salahsatu aset potensi kekuatan kita.

Apa gunanya Indonesia memiliki sumber daya alam ‘rare earth’ mineral langka di dunia, namun tidak bisa dan tidak tahu bagaimana memaksimalkan pemanfaatan potensinya.

Ujar Muhammad Ridwan Uda, Ketua Bidang Ekonomi Kreatif PP KAMMI

Tinggalkan Balasan