
Presiden Prabowo Subianto mengancam akan merombak atau melakukan reshuffle terhadap beberapa menteri di Kabinet Merah Putih yang dianggap tidak patuh dan tidak bekerja dengan baik untuk kepentingan rakyat.
Dalam pidatonya pada peringatan Harlah ke-102 Nahdlatul Ulama (NU) pada Rabu (5/2), Prabowo kembali menegaskan bahwa ia tidak akan ragu untuk mengambil tindakan terhadap menteri yang tetap membandel meskipun telah berulang kali diperingatkan.
“Siapa yang bandel, siapa yang ndablek, siapa yang tidak sejalan dengan aspirasi rakyat dan pemerintahan yang bersih, saya akan tindak,” ujarnya.
Setelah acara, Prabowo kembali menegaskan kepada media bahwa dirinya akan mencopot menteri yang tidak bekerja dengan baik untuk kepentingan rakyat. Hal ini juga menjadi jawaban atas kemungkinan reshuffle setelah 100 hari kerja Kabinet Merah Putih.
“Kepentingan utama adalah untuk bangsa dan rakyat, tidak ada kepentingan lain. Jika ada yang tidak bekerja dengan benar untuk rakyat, saya akan singkirkan,” tegasnya.
Puncak Kekesalan terhadap Menteri
Direktur Trias Politika Strategis, Agung Baskoro, menilai pernyataan Prabowo tersebut sebagai peringatan keras atau “kartu kuning” bagi jajaran Kabinet Merah Putih.
Menurutnya, kata “ndablek” dan “bandel” yang digunakan Prabowo mencerminkan puncak kekesalannya terhadap beberapa menteri yang terlibat dalam berbagai kontroversi.
“Kekesalan ini wajar karena Presiden harus turun tangan langsung untuk mengatasi kegaduhan yang ditimbulkan oleh para menterinya, baik secara langsung maupun tidak langsung,” ujarnya.
Agung juga menyoroti momen peringatan tersebut yang disampaikan dalam acara Harlah NU. Ia menilai hal itu menunjukkan bahwa Prabowo ingin menunjukkan keberpihakannya kepada publik yang merasa kecewa dengan kinerja para menterinya.
“Presiden ini gaya komunikasinya tegas, tidak bertele-tele. Ketika ia menyampaikan peringatan di Harlah NU, itu menandakan bahwa ia bersama publik yang juga kecewa,” jelasnya.
Indikasi reshuffle semakin kuat dengan pernyataan Ketua Harian Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad, yang menyebut ada menteri yang tidak sejalan dengan pemerintahan.
Waktu yang Tepat untuk Reshuffle
Agung menilai reshuffle idealnya dilakukan setelah enam bulan pemerintahan berjalan. Namun, jika ada menteri yang menunjukkan kinerja buruk dan tidak bisa diubah, perombakan kabinet bisa dilakukan lebih cepat.
“Jika kekecewaan terus menumpuk dan ada menteri yang kebijakannya justru menimbulkan masalah, reshuffle bisa lebih cepat dilakukan,” ujarnya.
Menurutnya, mempertahankan menteri yang tidak kompeten bisa merusak citra, reputasi, dan legitimasi pemerintahan.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Arus Survei Indonesia, Ali Rif’an, melihat pernyataan Prabowo sebagai sinyal kuat bahwa reshuffle akan segera dilakukan, kemungkinan sebelum atau setelah Lebaran.
Dalam 100 hari pertama pemerintahan, Prabowo seharusnya sudah memiliki evaluasi terhadap kinerja para menterinya, baik dari penilaian internal maupun respons publik.
“Ini bukan sekadar ancaman, tetapi peringatan serius bahwa dalam waktu dekat akan ada reshuffle,” ujarnya.
Ali menambahkan bahwa Prabowo seharusnya sudah memiliki daftar menteri yang kinerjanya kurang optimal, terutama mereka yang lebih banyak menimbulkan kegaduhan dibanding memberikan kontribusi nyata.
Ia menyoroti tiga bidang yang menurutnya perlu dievaluasi, yaitu ekonomi, pendidikan, dan kesejahteraan masyarakat.
Di sektor ekonomi, daya beli masyarakat terus menurun, dengan 9,48 juta orang kelas menengah yang rentan jatuh ke dalam kemiskinan. Kebijakan terkait gas LPG dan pagar laut juga menjadi polemik.
Di sektor pendidikan, isu tunjangan kinerja dosen dan kesejahteraan tenaga pendidik belum terselesaikan.
Sementara di sektor kesejahteraan, penciptaan lapangan kerja, gelombang PHK besar-besaran, serta penyaluran bantuan sosial yang tidak tepat sasaran menjadi perhatian utama.
“Bidang-bidang ini menjadi prioritas pemerintahan Prabowo-Gibran. Jika kinerjanya tidak sesuai harapan dan visi Presiden, maka menterinya bisa diganti,” pungkasnya.