Diskusi Publik PP KAMMI: Menyoroti Ketimpangan dan Pelanggaran Hukum dalam Aktivitas Pertambangan di Raja Ampat

Pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (PP KAMMI) menyelenggarakan diskusi publik bertajuk “Menimbang Tambang di Raja Ampat: Aspek Hukum, Lingkungan, dan Keadilan Masyarakat”, Rabu (18/6) di Sekretariat PP KAMMI, Tebet, Jakarta Selatan.

Pemerintah telah mencabut Izin Usaha Pertambangan atau IUP empat Perusahaan Tambang di Raja Ampat, Papua Barat Daya, yaitu PT Anugerah Surya Pratama (ASP), PT Mulia Raymond Perkasa (MRP), PT Kawei Sejahtera Mining (KSM), dan PT Nurham, pada Selasa, 10 Juni 2025. Berbeda dengan empat perusahaan tambang sebelumnya, PT Gag Nikel menjadi satu-satunya perusahaan IUP tidak dicabut.

Pakar hukum pertambangan Ahmad Redi, menjelaskan khusus PT Gag Nikel, memiliki status kontrak karya dan telah mengantongi izin tambang sejak era Orde Baru, UU No.11 Tahun 1967 yang menjadi dasar bagi pemberian Kontrak Karya untuk kegiatan penambangan nikel di Pulau Gag, meskipun kemudian ada penyesuaian dengan Undang-Undang yang lebih baru.

Ia menjelaskan bahwa berdasarkan Pasal 169 UU Minerba Tahun 2009, kontrak karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang telah ditandatangani sebelum berlakunya UU tersebut tetap diakui sampai masa berlakunya habis. Namun, permasalahan muncul ketika UU Minerba No. 3 Tahun 2020 memperbolehkan kontrak karya yang akan berakhir dapat dilanjutkan dalam bentuk IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus).

“Celakanya, alih-alih menyetop, justru di UU Minerba No.3 Tahun 2020 Kontrak Karya dan PKP2B yang akan berakhir dapat dilanjutkan dengan IUPK,” ungkap Ahmad Redi.

Dalam pengelolaan SDA harusnya kembali merujuk konstitusi. Pasal 33 UUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa “cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”. Lebih lanjut “bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat,” itu amanat UUD.

“Jadi seharusnya pengelolaan sumber daya mineral, logam, dan batubara cukup negara saja yang kelola. Tidak seharusnya diprivatisasi, karena bukan milik segelintir elite atau korporasi, tapi ini milik rakyat Indonesia,” jelasnya.

Bayu Yusya dari PUSHEP menegaskan bahwa keberadaan tambang di pulau kecil seperti Pulau Gag secara tegas melanggar UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K).

“UU tersebut secara jelas melarang kegiatan pertambangan di wilayah pesisir dan pulau kecil, tanpa syarat. Dan pelanggaran ini bukan hanya soal hukum administratif, tetapi juga menyangkut hak asasi manusia,” ujarnya.

Ia menyatakan pertambangan di Raja Ampat termasuk kategori abnormally dangerous, karena sifatnya yang merusak secara permanen dan tidak dapat dipulihkan. Bayu juga mengutip Resolusi Majelis Umum PBB No. A/RES/76/300 yang menyatakan bahwa hak atas lingkungan hidup yang bersih, sehat, dan berkelanjutan adalah bagian dari hak asasi manusia. Pengakuan ini juga tercermin dalam Pasal 9 ayat (3) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, khususnya Pasal 9 ayat (3) yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Alfarhat Kasman, Juru Kampanye JATAM menyampaikan bahwa Pulau Gag hanyalah satu dari 35 pulau kecil di Indonesia yang telah dikapling oleh aktivitas pertambangan.

“Total terdapat 195 Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang mencakup wilayah seluas 351.933 hektare di pulau-pulau kecil tersebut,” ujar Farhat.

Lebih dari sekadar eksploitasi ruang hidup, JATAM mencatat bahwa sepanjang tahun 2014 hingga 2024, sebanyak 119 warga dikriminalisasi karena menolak wilayahnya dijadikan lokasi tambang. Ini menunjukkan bahwa pertambangan di pulau kecil tak hanya merusak lingkungan, tetapi juga merampas hak-hak sipil masyarakat.

Ia juga menyoroti PT Gag Nikel yang mengantongi izin tambang seluas 13.136 hektare, sementara luas Pulau Gag sendiri hanya sekitar 6.500 hektare. Bahkan, JATAM mencatat perusahaan tersebut telah membuka 262 hektare kawasan hutan tanpa IPPKH (Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan).

Sementara itu Arsandi, Ketua Bidang Kebijakan Publik PP KAMMI mendesak aparat penegak hukum untuk tidak berhenti pada pencabutan IUP semata.

“Pencabutan izin dan penghentian aktivitas tambang tidak cukup, kami mendesak POLRI dan KPK untuk mengusut tuntas dugaan pelanggaran hukum, potensi korupsi, dan konflik kepentingan dalam proses pemberian IUP di Raja Ampat,” desaknya.

Ia juga menyoroti ketimpangan yang selama ini terjadi di sekitar wilayah tambang. Menurutnya, masyarakat lokal justru tidak merasakan manfaat dari kekayaan alam yang terus dieksploitasi dari tanah mereka sendiri.

“Di Papua sana ada Freeport, salah satu tambang emas terbesar di dunia. Setiap tahun triliunan rupiah dihasilkan dari perut bumi Papua. Tapi bagaimana nasib masyarakat di sekitarnya? Nyatanya mereka hidup dalam keterbatasan, terbatasnya akses pendidikan dan kesehatan yang layak, dan pembangunan infrastruktur juga tidak merata,” ujarnya.

Menurutnya, fenomena ini sebagai bentuk kolonialisme gaya baru, di mana sumber daya alam dikeruk habis-habisan, tetapi rakyat di sekitar tambang dibiarkan tertinggal.

Tinggalkan Balasan